Selasa, 04 November 2014

AUTOPOIESIS

Pengertian

Autopoiesis dapat diartikan sebagai system yang dapat atau mampu untuk mengorganisasikan, membentuk serta mereproduksi dirinya sendiri lepas dari pengaruh individu-individu yang ada di dalamnya. Pengertian ini dapat diartikan juga sebagai system yang dapat menghasilkan dan mempertahankan dirinya dengan menciptakan komponen-komponennya sendiri. Autopoiesis tidak berarti bahwa sistem bersifat tertutup dari lingkungan di luarnya. Karena sistem adalah reduksi dari kompleksitas, di mana yang kompleks itu adalah lingkungan di luar sistem, oleh karena itu maka akan selalu terjadi interaksi antara sistem dengan lingkungan. Dengan demikian sistem akan selalu terbuka terhadap lingkungan luarnya (karena adanya interaksi) dan tertutup (karena mengorganisasikan diri sendiri) pada saat yang sama.

Sejarah / latar belakang konsep

Kata “Autopoiesis” berasal dari kata Yunani auto yang berarti diri, dan poiesis yang berarti penciptaan atau produksi. Autopoiesis berarti penciptaan diri sendiri. Kata ini pertama kali diperkenalkan oleh biolog asal Chile, yakni Francisco Varela dan Humberto Maturana pada 1973.

Luhmann banyak dipengaruhi oleh Humberto Maturana, terutama pada tesisnya bahwa sistem memiliki ciri yang bersifat autopoiesis.

Teori Autopoiesis oleh Niklas Luhmann berawal ketika dunia mengalami fast post modern yakni dalam suatu masalah di dunia ini tidak hanya mengenal satu jawaban atau solusi saja dalam mengatasinya sehingga muncul berbagai solusi-solusi dalam menjawab masalah tersebut. Sistem yang diperkenalkan Luhmann menyajikan teori tentang masyarakat sebagai sistem yang dapat memproduksi sendiri atau autopoietic.

Autopoiesis adalah satu ciri khas dari teori sistem Luhmann. Sesuatu yang bersifat autopoiesis berarti sesuatu (dalam arti satu dan utuh) yang diatur sebagai jaringan dari proses-proses produksi dari bagian-bagian yang “melalui interaksi di antara mereka dan perubahan yang berkelanjutan terus mereproduksi dan menjadi proses jaringan yang memproduksi mereka; membentuknya sebagai satu kesatuan yang konkret di dalam ruang di mana mereka berada dengan mengkhususkan ranah realisasinya seperti jaringan”.

Ide tentang adanya sistem yang mampu mengatur dan mereproduksi dirinya sendiri memiliki logika internal, bahwa adanya tujuan final dari seluruh gerak alam. Semua refleksi semacam ini dapat ditemukan di dalam metafisika Aristoteles, Monadology tulisan Leibniz, dan Critique of Judgment-nya Immanuel Kant. Dengan munculnya era dominasi kaum borjuis pada abad ke-18, hampir semua teori politik, ekonomi, dan etika mulai untuk menyelidiki bagaimana relasi antara bagian dengan keseluruhan, yakni tentang bagaimana individu-individu sebagai bagian dari komunitas akhirnya dapat membentuk komunitas bersama tanpa saling menghancurkan. Refleksi ini banyak dikenal sebagai problem tatanan (problem of order). Sampai sekarang, problematika tatanan tetap berada di dalam selubung misteri yang hanya dapat dipikirkan secara spekulatif dalam perdebatan yang panjang, dan tampak tak pernah berakhir.

 

Relevansi dengan system thinking

Relevansi autopoiesis dengan system thinking adalah untuk dapat melihat dan mejelaskan proses reproduksi sistem dan menjelaskan elemen-elemen pembentuknya, serta dapat menggambarkan bagaimana struktur sistemik sebagai tatanan yang timbul mencuat dari kekacauan.

 

Manfaat dari Autopoiesis

Manfaat dari Autopoiesis adalah membentuk suatu organisasi sebagai satu kesatuan yang konkret di dalam ruang di mana mereka berada dengan mengkhususkan ranah realisasinya seperti jaringan. Dengan adanya Autopoiesis, system dapat menyelidiki bagaimana relasi antara bagian dengan keseluruhan, yakni tentang bagaimana individu-individu sebagai bagian dari komunitas akhirnya dapat membentuk komunitas bersama tanpa saling menghancurkan.

 

System operasi Autopoiesis

System operasi dari Autopoiesis yaitu dengan melakukan komunikasi yang membentuk sistem dimana didalam komunikasi tersebut ada 3 elemen yaitu: Yang pertama adalah informasi (information), yang kedua adalah ungkapan (utterance), dan yang ketiga adalah pengertian (understanding). Ketiga proses ini memainkan peranan sentral di dalam proses komunikasi dan pembentukan makna. Dan karena makna merupakan kondisi kemungkinan bagi terciptanya sistem, dan karena makna juga merupakah elemen yang memungkinkan komunikasi, maka ketiga faktor diatas merupakan tiga pilar pembentuk sistem social.
Jika ketiga elemen tersebut dapat berfungsi produktif, maka komunikasi yang membentuk sistem dapat dilaksanakan lebih jauh. Di dalam komunikasi, pengertian (understanding) bukanlah tujuan (telos), seperti pada teori-teori hermeneutika. Sistem bersifat autopoiesis, maka komunikasi juga bersifat autopoiesis. Artinya, tujuan utama komunikasi adalah reproduksi dirinya sendiri, dan bukan mencapai kesaling pengertian (mutual understanding). Masalahnya berakar pada kesalahpahaman atas arti komunikasi itu sendiri. Di dalam teori-teori hermeneutika, terutama Habermas dan Apel, komunikasi dipahami sebagai suatu tindakan komunikatif yang berorientasi pada konsensus. Luhmann tidak sepakat akan hal ini. Pertama, konsensus tidaklah dapat dicapai melampaui lokalitas dan temporalitas, karena komunikasi tetap membutuhkan ketidaksetujuan untuk melanjutkan prosesnya. Jika konsensus universal dapat dicapai, maka sistem pun akan berakhir. Di sisi lain, konsep tentang tindakan, seperti tindakan komunikatif, tidak dapat menjadi dasar bagi suatu teori sosial, karena di dalam perspektif teori sistem, tindakan adalah suatu akibat (effect) dan bukan sebab (cause). Oleh karena itu, teori tindakan komunikatif tidak pernah dapat menjadi dasar bagi refleksi sosial, karena masih ada penyebab yang lebih mendasar dari itu, yakni sistem itu sendiri. Teori sistem memandang komunikasi bukan sebagai tindakan aktif, melainkan sebagai keniscayaan, sebagai kondisi kemungkinan bagi keberadaan sistem itu sendiri yang bersifat autopoiesis. Maka, komunikasi tidak pernah dapat dipahami sebagai sebuah tindakan.

Komunikasi berada di atas kesadaran, sehingga “komunikasi dianggap mampu mengamati kesadaran”. Akan tetapi, pengamatan itu dilakukan dari luar, dan dalam batas-batas logika internal sistem yang tengah diamati. Komunikasi dan kesadaran beroperasi secara bersamaan tanpa melibatkan yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, ketika kesadaran dan sistem sosial telah benar-benar terpisah, relasi antara keduanya dapat disebut sebagai “interpenetrasi” (interpenetration), yakni suatu konsep yang menggambarkan status interdependensi antara sistem yang muncul bersama sebagai hasil dari proses evolusi sistem yang kompleks. Pada titik ini, sistem sosial selalu sudah mengandaikan sistem kesadaran, dan sebaliknya. Kesadaran dapat berpartisipasi di dalam komunikasi untuk membentuk sistem sejauh berfungsi sebagai salah satu unsur yang berperan di dalam karakter autopoiesisnya. Secara sederhana, kesadaran bersifat subordinat terhadap sistem, dan justru sistem yang mendeterminasi kesadaran individu, bukan sebaliknya. Sistem terbentuk dari jaringan-jaringan komunikasi yang bersifat autopoiesis yang melampaui kesadaran dan kebebasan individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar